Enam Bulan Konflik Hamas-Israel

(VOVWORLD) - Pada tanggal 7 April, konflik Hamas-Israel di Jalur Gaza akan genap 6 bulan. Setelah 6 bulan meledak, jumlah korban kedua pihak semakin meningkat, sedangkan upaya-uapya mencari solusi diplomatik untuk menghentikan konflik jatuh ke jalan buntu.

Pada tanggal 7 Oktober tahun lalu, tentara Israel membuka operasi militer di Jalur Gaza guna membalas serangan-serangan yang dilakukan pasukan Hamas terhadap wilayah Israel sebelumnya, membuka konflik yang paling serius di Timur Tengah selama beberapa tahun terakhir.

Krisis Kemanusiaan yang Serius

6 bulan setelah konflik meledak, kerugian jiwa dan material di Jalur Gaza telah meningkat sehingga mayoritas komunitas internasional menilai “tidak bisa diterima”. Data-data yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Badan Kesehatan Palestina di Jalur Gaza menunjukkan bahwa terhitung sampai bulan Maret, ada hampir 33.000 orang Palestian yang telah tewas dengan mayoritasnya adalah warga sipil. Khususnya, menurut data Dana Anak-Anak PBB (UNICEF), lebih dari 13.000 anak telah tewas karena sengketa-sengketa di Jalur Gaza selama 6 bulan ini, lebih banyak dari semua konflik lainnya di dunia selama satu dekade ini. Di samping itu, lebih dari 75.000 orang luka-luka dan sekitar 85% di antara 2,3 juta warga Gaza, atau sama sekitar 1,9 juta orang, harus meninggalkan rumahnya untuk mengungsi ke tempat aman. Pada pihak Israel, ribuan serdadu dan warga sipil juga telah tewas, sedangkan ratusan sandera masih ditahan pasukan Hamas.

Enam Bulan Konflik Hamas-Israel - ảnh 1
Reruntuhan setelah serangan udara yang dilakukan Israel di Kota Deir el-Balah, Jalur Gaza, pada 2/4/2024. (Foto: Xinhua/VNA) 

Bersama dengan kerugian jiwa, fasilitas di Gaza juga mengalami kehancuran berat. Laporan yang diumumkan oleh PBB dan Bank Dunia pada tanggal 2 April menunjukkan bahwa 62% rumah di Jalur Gaza telah dihancurkan, memojokkan lebih dari sejuta orang ke dalam situasi tanpa tempat tinggal. 84% fasilitas kesehatan mengalami kerusakan atau kehancuran. Sistem pendidikan di Gaza runtuh totalnya ketika 56 sekolah mengalami kehancuran, 219 sekolah terkena kerusakan, sehingga membuat sekitar 625.000 siswa di Gaza tidak dapat bersekolah. Bank Dunia memprakirakan bahwa total kerugian fasilitas di Gaza sekitar 18,5 miliar USD, sama 97% jumlah PDB Jalur Gaza dan Tepi Barat pada tahun 2022. Memburuknya dan kekurangan serius dari jasa-jasa publik (kesehatan, air bersih, bahan makanan, dan lain-lain) telah memojokkan jutaan warga di Jalur Gaza ke kesengsaraan setelah 6 bulan terjadinya konflik. Juru bicara Badan Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR), Jeremy Laurence, menilai:

Situasi sekarang sungguh-sungguh menyedihkan, tetapi bisa mencegahnya dan harus menghentikannya. Seperti yang sudah kami katakan sebelumnya, apa yang harus diderita warga di Jalur Gaza adalah sangat sengsara”.

Pada latar belakang itu, upaya-upaya pemberian bantuan masih mengalami banyak kesulitan karena tingkat mengerikan dari konflik, serta hambatan dari banyak pihak. Menurut Program Pangan PBB (WFP), bahan pangan dan bahan makanan yang dibawa ke Gaza hanya memenuhi sekitar 20% total kebutuhan warga. Yang lebih serius ialah para petugas pertolongan dan petugas berbagai organisasi internasional juga menjadi korban. Lebih dari 190 petugas pertolongan kemanusiaan telah tewas di Gaza dalam 6 bulan lalu, yang terkini ialah kasus pada tanggal 2 April, ketika 7 petugas Lembaga Swadaya Masyarakat “Dapur Dunia” (WCK) tewas setelah satu serangan udara yang dilakukan tentara Israel. Juru bicara PBB, Stephane Dujarric, mengatakan:

Selama beberapa bulan ini, para petugas pertolongan kemanusiaan selalu harus menghadapi risiko. Kasus yang terjadi dengan WCK merupakan bukti yang paling jelas untuk tantangan-tantangan yang mematikan orang dimana para petugas tersebut harus hadapi setiap hari di Jalur Gaza, meskipun mereka adalah petugas internasional atau sebagian besarnya orang Palestina”.

Diplomasi Mengalami Kemacetan

Tanpa memedulikan situasi kemanusiaan di Gaza yang memburuk dari hari ke hari, upaya-upaya diplomatik dari komunitas internasional untuk mencapai satu gencatan senjata yang berjangka panjang antara Israel dan pasukan Hamas masih tidak memberikan hasil. Putaran negosiasi terkini yang disponsori Qatar, Mesir dan AS berakhir pada tanggal 3 April di Kairo, Ibu koat Mesir, tanpa kemajuaan yang dicapai. Dengan skala global, negara-negara masih mengalami perpecahan yang mendalam karena konflik di Gaza.

Menurut kalangan pengamat, meskipun satu gencatan senjata yang berjangka panjang bersama dengan segera melepaskan para sandera adalah agak sulit dicapai dalam waktu singkat, tetapi tekanan-tekanan sekarang bisa turut memperbaiki situasi kemanusiaan di Gaza. Khususnya, perihal Pemerintah AS meningkatkan pandangan keras terhadap Israel mungkin bisa memaksa Israel menerima beberapa konsesi. Pada tanggal 4 April, Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken telah menyampaikan peringatan yang jelas kepada Pemerintah pimpinan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu:

“Yang berkaitan dengan kebijakan kami di Gaza, bisa dikatakan bahwa kalau kami tidak melihat perubahan yang ingin kami lihat, maka kami akan mengubah kebijakan kami”.

Pada saat ini, bersama dengan kemacetan diplomatik, risiko konflik bereskalasi dan menyebar luas masih ada. Sejak akhir tahun lalu, pasukan Houthi di Yaman telah melakukan serangan-serangan terhadap kapal militer Barat dan kapal komersial di Laut Merah untuk membalas operasi militer Israel, sehingga menimbulkan terputusnya arus dagang global. Di daerah perbatasan antara Israel dan Lebanon, konflik-konflik antara tentara Israel dengan pasukan Hezbollah masih terjadi. Yang lebih serius, serangan yang dilakukan Israel terhadap sasaran-sasaran Iran di Suriah baru-baru ini telah meledakkan bahaya tentang satu konfrontasi langsung antara dua negara besasr militer di kawasan Timur Tengah.  

Berita Terkait

Komentar

Yang lain